Friday, November 7, 2008

Krisis keuangan global membuat investor makin pintar.

Tiap persoalan selalu membawa berkah dan hikmah, begitu orang bijak mengatakan. Krisis finansial kali ini pun juga membawa hikmah meski epicentrum-nya berada di Amerika Serikat sana. Hikmah dan berkah yang utama, dan yang paling berdampak langsung bagi investor lokal dari krisis keuangan AS ini adalah terbukanya peluang membeli saham dengan harga yang lebih murah.

Sedangkan berkah lainnya adalah bertambahnya pengetahuan investor tentang seluk beluk investasi saham pada khususnya dan investasi efek pada umumnya. Bayangkan begitu krisis finansial mendera, investor langsung disuguhi berberapa istilah di pasar modal yang selama ini terdengar asing, semisal Repo, Bailout dan Buy back. Selanjutnya perlahan tapi pasti kini investor telah mengenal apa yang dimaksud dengan Repo. Lalu apa yang dimaksud dengan bailout serta bagaimana aktivitas buy back selain bisa mengangkat harga saham juga bisa memberikan nilai tambah oleh sebagian investor kini sangat dipahami. Inilah hikmah dan berkah di antara banyak berkah yang diperoleh investor pada masa-masa krisis ini.

Repo yang kita bicarakan adalah repurchase agreement atau suatu kontrak jual efek dengan perjanjian akan dibeli kembali dalam kurun waktu tertentu baik nilai maupun masa pembeliannya disepakati bersama. Umumnya pembelian kembali ini dilakukan dengan harga yang lebih tinggi, atau bisa juga dengan perjanjian dengan kondisi-kondisi tertentu dan harga tertentu pula. Sepintas aktivitas Repo ini mirip dengan gadai saham, di mana pemilik saham mengadaikan sahamnya pada harga tertentu dengan penebusan yang ditentukan kemudian. Bedanya dalam gadai saham, objek yang menjadi gadai tak bisa diperjualbelikan, sedangkan dalam Repo yang menjadi objeknya tetap aktif ditransaksikan. Karena sifatnya yang tetap aktif itu, menyebabkan transaksi Repo ini kurun waktunya sangat singkat. Bahkan di kalangan pelaku pasar dikenal dengan transaksi yang overnight (overnight transaction). Jadi kalau pinjam-meminjamnya jangka pendek, maka tingkat bunga yang diberlakukan tingkat bunga yang ekstra tinggi. Jadi besar dan kecilnya transaksi Repo atau pun penerapan bunganya akan sangat tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak.

Transaksi Repo ini dilakukan antara pihak yang menguasai atau memiliki efek tertentu dengan pihak yang memiliki dana. Di kalangan perusahaan sekuritas (perusahaan efek) di mana sebagian asetnya berupa efek (saham, obligasi, reksa dana, right dan waran) transaksi Repo ini adalah perkara biasa. Adalah sangat biasa perusahaan efek melakukan Repo atas asetnya kepada pihak lain, dan dalam perjanjian disepakati akan dibeli kembali pada harga yang lebih tinggi. Dalam konteks antara sesama perusahaan efek ini kesan yang muncul adalah seperti simpan meminjam efek (lending and borrowing). Meminjam efek untuk kemudian dikembalikan berupa efek lagi, tapi bisa juga pengembalian bisa berupa dana tunai,jadi sangat tergantung pada kesekapakatan antara sesama pelaku pasar.

Sederhananya transaksi Repo sama dengan transaksi dua orang pedagang di pasar tradisional yang tengah melayani langganannya. Misalnya ketika langganannya datang untuk membeli satu barang, ternyata barang itu tidak ada maka si pedagang akan meminjam barang yang dimaksud kepada pedagang lain. Sederhananya kira-kira begitu, tapi lantaran, saham yang di Repo-kan adalah saham atau efek di mana objeknya tetap bisa diperjualbelikan dan likuiditasnya tinggi, maka hitung-hitungan pembelian kembalinya (penebusannya) menjadi sangat rumit. Hal itulah menyebabkan pelaku pasar menggolongkan Repo ini sebagai transaksi yang overnight. Itu berarti, jangka waktu perjanjian Repo hanya satu hari saja atau dalam kurun waktu yang relatif pendek.

Namun demikian bukan berarti tidak ada transaksi Repo yang sifatnya jangka panjang. Transaksi Repo dengan jangka waktu yang lebih panjang, dikenal sebagai Term Repos, yang umumnya bisa diperpanjang hingga satu bulan atau lebih.

Secara umum, mekanisme Repo sama dengan transaksi utang dengan jaminan (secured loan). Hal ini karena dalam transaksi tersebut terjadi perpindahan uang dari pihak pembeli kepada pihak penjual, yang menunjukkan tanda diterimanya pinjaman, terdapat penyerahan efek dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Dengan mekanisme tersebut bahwa dalam transaksi itu sebagai penyerahan jaminan, terdapat perjanjian kapan akan dilakukan pembelian kembali atas efek serta menunjukkan periode pinjamam. Yang utama dalam perjanjian ini adalah adanya selisih positif antara harga penebusan efek dan harga penjualan, yang dianggap sebagai bunga atas pinjaman.

Bailout

Ingat ketika transaksi di Wall Street yang terus terjun bebas pada beberapa waktu yang lalu? Ketika itu harga saham berjatuhan karena banyaknya perusahaan investasi, perusahaan jasa keuangan bahkan kalangan perbankan kondisi keuangannya terancam bangkrut. Kontan investor di pasar finansial Amerika Serikat itu melakukan penjualan, dan walhasil harga saham pun berjatuhan. Tapi begitu pemerintahan George Bush mengumumkan akan melakukan tindakan penyelamatan dan tengah meminta persetujuan senat bagi dana senilai 770 miliar dolar AS, kontan pasar bereaksi positif. Bahkan begitu penyelamatan (bailout) memperoleh persetujuan Kongres, pelaku pasar langsung bernapas lega.

Tindakan penyelamatan atau bailout itu merupakan suatu bentuk jaminan yang dilakukan pemerintah. Di Indonesia tindakan bailout atau jaminan juga pernah dilakukan. Ingat ketika pemerintah meyetujui pemberian bantuan kredit likuiditas kepada sejumlah bank. Langkah itu juga bisa kita anggap sebagai bailout. Melihat maksud dan tujuannya, jelas bahwa bailout ini adalah untuk menolong, sehingga sistem perekonomian menjadi tidak terganggu.

Nah hari-hari terakhir ini banyak negara dan pemerintahnya atau bank sentralnya melakukan bailout atas sejumlah bank di negaranya masing-masing. Sebut saja, Bank Sentral AS yang mengutangi JP Morgan untuk membeli Bear Stearn agar tidak bangkrut. Di Belanda ada Fortis dan Ing Bank yang juga diselamatkan bank sentralnya. Di Jerman, Inggris serta sejumlah negara Eropa lainnya tindakan bailout juga dilakukan.

Tujuannya adalah untuk penyelamatan sementara mengingat transaksi finansial ini efeknya berantai. Bangkrutnya perusahaan atau bank yang satu maka akan berdampak pula pada perusahaan yang lainnya, seperti yang terjadi di Indonesia ketika krisis moneter tahun 1998 lalu.

Buyback

Ketika sejumlah emiten BUMN mengajukan buyback saham, maka seketika itu pula kalangan awam di pasar modal beranggapan bahwa upaya kementerian BUMN itu adalah untuk menyelamatkan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang turun tajam, serta sempat disuspend. Padahal sama sekali tidak ada hubungannya.

Buyback yang dilakukan emiten itu adalah untuk membeli kembali saham-sahamnya yang memang sudah murah itu. Karena pembelian dilakukan oleh manajemen maka saham itu masuk ke portofolio investasi dari perusahaan atau BUMN yang bersangkutan. Selanjutnya karena saham itu menjadi portofolio dengan sendirinya saham yang beredar menjadi berkurang. Nah kalau itu terjadi berarti supply saham dipasar menjadi berkurang, sehingga harga saham menjadi naik. Kalau kemudian saham naik pada gilirannya invetasi manajemen pada perusahaan itu juga menjadi naik, karena harga beli yang murah dengan harga saat ini. Dengan kata lain pembukuan dari harga beli bisa dilakukan dengan harga pasar.

Kalangan analis mengatakan bahwa salah satu argumen yang sering digunakan untuk menjelaskan motivasi emiten mem-buyback sahamnya di pasar adalah untuk meningkatkan nilai laba per saham perusahaan (EPS). Dengan demikian buyback ini juga merupakan alternatif lain dari pembagian deviden kas di mana perusahaan memberikanvalue kepada investornya (pemegang sahamnya). Pendeknya dengan buy back ini berbagai nilai tambah dapat diperoleh perusahaan, misalnya harga saham di pasar bisa lebih stabil. Itu artinya jika harga pasar mengalami penurunan (undervalued), emiten bisa melakukan pembelian kembali, sedangkan bila overvalue bisa menjualnya untuk memperoleh capital gain. Jadi capital gain yang diperoleh akan masuk ke kas perusahaan sebagai pendapatan non operasional perusahaan. Jadi buy back bukan untuk menyelamatkan IHSG semata tapi lebih kepada menyelamatkan investasi, investasi investor publik pada umumnya. (tim bei)

No comments:

Post a Comment